HIMBAUAN DARI KAYUTANAM
Moh. Sjafe’i
Oleh karena banyak yang belum mengetahui akan sistem sekolah Ruang Pendidik di Kayutanam yang disebut-sebut orang dengan nama singkatan INS dari perhimpunan VBPSS, maka di sini diterangkan sedikit supaya diketahui oleh pembaca umum.
Dengan singkat, tetapi banyak mengandung arti, dapat dikatakan: sekolah itu bersifat nasional, artinya ia mengakui bahwa tiap-tiap bangsa ada hak untuk hidup. Apabila ia hendak hidup ia mesti memupuk apa-apa yang sudah ada dalam diri bangsa sendiri, supaya apa-apa yang membawa untung kepada bangsa, baik dengan berupa budi, baik dengan berupa uang, menjadi subur hidupnya. Sebaliknya, yang mengandung penyakit harus dibunuh.
Ketahuilah oleh pembaca bahwa memupuk itu bukan berarti memberi pupuk kepada sekalian tumbuh-tumbuhan. Pupuk itu hanya diberikan kepada tanaman yang berfaedah, tetapi kepada yang akan mati tidak perlu, karena akan merugikan saja. Sebab itu dalam tradisi bangsa diadakan pemilihan mana yang boleh dipergunakan mana yang tidak.
Tradisi itulah yang jadi pedoman pendidikan dalam sekolah INS.
Berhubung dengan dalil itu, yaitu mengakui hak kebangsaan, namun perlu sekali kita ketahui pergaulan dengan bangsa-bangsa lain. Karena letak tanah air kita di antara beberapa benua, akan ada banyak pasal yang mendatangkan keuntungan kepada orang lain dan kerugian kepada kita. Maka daya upaya apa yang harus diambil supaya kita dapat duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan bangsa lain itu. Itulah sekurang-kurangnya yang menjadi tujuan kita.
Kalau kita palingkan pandangan ke peta dunia, kelihatanlah bahwa letak Indonesia di pusat dari lingkaran dunia yang kebanyakan sudah jauh lebih maju. Memandang kita ke utara, tampak benua Cina dengan pulau-pulau Jepang yang jempol. Berpaling ke barat laut tampak tanah Siam dan India yang juga sudah lebih maju serta banyak mempunyai kekuatan untuk berperang di medan penghidupan. Tidak jauh dari sana kita dikurung oleh Persia, Arab, Mesir, dan Eropa yang sekarang menjadi jago dunia. Di sebelah barat adalah tanah Afrika yang beberapa di antara negerinya juga sudah meninggalkan kita. Melihat ke timur Amerika menjaga, Australia tegak dengan gagah di selatan. Jadi, nyatalah kita terjepit di antara benua- benua yang maju itu.
Kalau sekiranya kita di sini tidak berusaha mengangkat diri kita, terang saja kita akan digiling oleh roda-roda kereta penghidupan. Terutama karena cepatnya laju kemajuan dunia itu sendiri. Dahulu orang dari Eropa enam bulan baru sampai ke sini. Sekarang dengan mempergunakan kapal api, 24 hari sudah sampai. Dengan kapal terbang 14 hari sudah cukup.
Pembaca tentu sudah membaca dalam surat-surat kabar harian atau mingguan tentang kongres bangsa Amerika yang tujuannya mempersatukan penduduk benua Amerika, supaya dapat membela kepentingannya dalam berhadapan dengan bangsa dari benua lain. Baru-baru ini, H. Agus Salim dan Tjokroaminoto pergi ke Mekkah menghadiri Kongres Pan Islam untuk mencari upaya untuk persatuan umat Islam. Meskipun 171 belum mendatangkan hasil yang diharapkan, tetapi mereka itu sudah merambah jalan. Sebaliknya, kaum nasionalis Indonesia pun tidak ketinggalan buat mengadakan persatuan dengan mendirikan PPPKI di Jawa di bawah pimpinan Ir. Soekarno. Ini semua menjadi contoh kepada kita, zaman bekerja untuk mencari persatuan sudah tiba.
Sekarang timbul pula pertanyaan kedua: mana tiang kebangsaan yang kokoh yang mesti dibangun terlebih dahulu? Menurut pertimbangan kita ialah kemauan yang kuat. Oleh karena itu, di INS dipentingkan benar-benar tentang kemauan hati yang kuat. Apalah faedahnya kepandaian sampai banyak dan luas ke mana-mana, kalau tidak diiringi dengan kemauan hati yang kuat? Apalah gunanya tenaga yang terkumpul kalau tidak ada kemauan untuk mengeluarkannya?
Sesudah lama dipikirkan dan ditimbang-timbang serta dibicarakan, maka perlu sekali kita mempunyai sekolah yang berdasar nasional untuk mendidik bangsa yang berhati yang kuat. Inilah dasar yang dipakai dalam pendidikan INS.
Dalam surat-surat kabar banyak pengarang membicarakan pelajaran apa yang mesti diajarkan dalam sekolah rendah yang kemudian dapat mendatangkan hasil kepada si murid. Berhubung dengan sempitnya medan pencarian untuk murid- murid setamat sekolah itu — ketika ilmu yang dipelajari kurang faedahnya, apalagi pendidikan atas dirinya tidak disertai pendidikan kemauan hati yang keras — akan jauh lebih baik bila kita mempunyai kemauan yang kuat meski tidak berkepandaian daripada kebalikannya, yaitu mempunyai kepandaian tetapi tidak berkemauan. Perasaan kebangsaan pun perlu diiringi oleh kemauan. Inilah dasar pendidikan yang dilakukan di INS.
Dalam zaman peperangan dengan meriam, gas beracun, bom, kapal perang, kapal udara, dalam zaman orang-orang yang kuat berhimpun menjadi satu supaya bertambah kuat, seperti Kongres Pan Amerika di Havana baru-baru ini, maka dalam zaman itulah kita mesti mengambil alasan untuk pendidikan anak cucu kita perasaan bersatu, supaya mereka 172 itu kemudian bolen mengadakan pergerakan persatuan yang lurus dan jujur terhadap tanah airnya. Akan lebih baik tanah air kita mempunyal satu orang bumiputra yang mau bekerja keras untuk tanah airnya daripada 1000 yang hanya bangun tidur belaka sepanjang hari, sepanjang tahun, yang akan menjadi beban bagi bangsa dan tanah air. Perasaan inilah yang setiap hari dimasukkan ke hati murid INS dengan cara perlahan-lahan, supaya mereka akan ada gunanya untuk masyarakat bangsa kita.
Apa kata Dr. Soetomo tentang ibu-ibu bangsa Jepang waktu menyuruh ananya tidur, “Lekaslah tidur, anakku, supaya lekas besar dan kuat karena tanah airmu perlu akan tenagamu. Supaya kamu pergunakan tenagamu untuk Mikado dan tempat tumpah darahmu.”
Nyatalah dalam kebangsaan Jepang umumnya sudah ada pendidikan kebangsaan, yang diajarkan sejak dari kecil dengan beraturan. Maka tidaklah salah kita mengambil contoh itu. Ibu bangsa Jepang itu berlainan benar dengan kebanyakan ibu- ibu di tanah air kita, yang selalu menakut-nakuti ananya supaya cepat tidur dengan kata-kata, “Awas ada hantu, ada Belanda mabok, ada orang gila” dan lain-lain perkataan yang meracuni anak-anak dengan perasaan takut.
Rumah tangga kita banyak mendidik anak-anaknya dengan banyak bicara saja, banyak marah dan banyak ancaman yang tidak beralasan, dengan kesudahan anak-anak itu kemudian dalam pikirannya tidak mempunyai dasar pikiran yang kuat, sehingga selalu mereka berputar-putar membuat alasan yang dicari-cari, seperti yang dicontohkan orang tua mereka. Lihatlah contohnya dalam rapat-rapat bangsa bumiputra kita: Kata-kata mufakat dari kedua belah pihak kerap kali kita dengar dengan tiada berujung pangkal alasannya. Kemudian, kata mufakat itu tidak dilakukan dengan alasan yang tidak berujung pangkal pula. Lihat pulalah dalam penghidupan shari-hari, dari soal yang biasa sampai yang penting, lain tidak yang tampak kita hanya kata berpusing-pusing, berputar serbu kali putar.
Anak binatang ketika dilahirkan, langsung berlari-lari seperti ibunya. Anak itik langsung berenang-renang, anak kuda melompat-lompat. Berlainan dengan manusia, waktu baru lahir si anak perlu diasuh benar-benar oleh ibunya, kalau tidak tentu saja dia mati. Anak itu kian lama bertambah besar dan dalam pada itu dia dididik kebiasaan dalam zamannya. Kalau ketika itu zaman orang makan tikus, si anak pun diajar juga makan tikus. Kalau di zaman itu orang memotong kepala, anak itu mendapat pelajaran demikian juga.
Di zaman sekarang kebanyakan anak-anak kita dididik banyak bicara, sebab itu hasilnya kita banyak mendapat orang banyak bicara pula. Jadi, kita tidak heran kalau di mana-mana kita mendengar orang berlesing ke sana kemari, menghota di kedai kopi, atau berpidato bersahut-sahutan seperti tak kunjung henti.
Di dalam sejarah, kita dapati beberapa zaman, umpamanya zaman tanah dan batu. Artinya, semua perkakas dibuat dari dua macam barang itu. Sudah itu, kita dapati zaman tembaga dan sekarang zaman besi dan listrik. Dalam masyarakat kita sedang bersamaan dengan zaman orang Barat bekerja dengan mesin tenaga listrik, namun bangsa kita masih dalam zaman bicara, baik dalam rapat-rapat, baik mengarang di surat-surat kabar.
Di tanah Jawa, zaman bicara itu sudah berangsur-angsur bertukar dengan zaman bekerja. Buktinya, pergerakan Muhammadiyah yang sudah mempunyai berpuluh-puluh sekolah, rumah sakit, dan rumah-rumah miskin. Perkumpulan Studieclub yang mengusahakan bermacam-macam ekonomi bumiputra dengan maksud supaya buatan bumiputra dapat bertanding dengan buatan yang datang dari luar. Taman Siswa bergerak dalam perguruan nasional yang juga sudah mempunyai banyak sekolah. Syarikat Islam sedang bergerak mendirikan bank supaya dapat menolong saudagar-saudagar kecil. PNI, yaitu penganjur persatuan Indonesia, pun tidak ketinggalan.
Nyata kepada kita bahwa Indonesia, umumnya Asia, bergerak ke jurusan nasional. Tinggal kita di Sumatra Barat, jauh tertinggal di belakang dalam hal itu dari kaum kita di Pulau Jawa. Padahal banyak pimpinan di sana asalnya dari Sumatra Barat yang merasakan bagaimana payah untuk mengajak orang di sini bergerak dengan sejujur hati. Yang sudah menjadi sifat kepada kita, apa-apa yang sudah dimufakati dengan putusan rapat, lalu ditukar lagi pada rapat berikutnya. Karena itu kita sampai di situ-situ juga.
0 (nol) besaaar! Ya 0 besar sekali yang menjadi hasil perbuatan kita.
Lagi suatu sifat kita di sini yang tidak baik buat pergerakan tanah air, kita tidak hendak berkata terang bermuka-muka, supaya yang busuk lekas berubah, melainkan selalu di belakang-belakang saja. Sekiranya kita di sini mau maju, artinya mau bertentangan dengan musuh di medan penghidupan, berbagai sifat yang akan mengurangkan semangat dan tenaga persatuan hendak dibuang. Kalau belum dapat semuanya, sebagian saja dulu. Mengingat sekalian yang sudah disebut di atas, baik tentang perhubungan Indonesia ke luar, baik tentang kekurangan yang masih tersembunyi dalam diri sendiri, INS berusaha dengan sedapat-dapatnya agar murid-muridnya memperoleh peralatan yang dapat melawan hal-hal itu. Kalau disingkatkan tujuan INS ialah “Intelek, Nasional, dan Semangat”.
Sekarang ketahuilah ibu-bapak, mamak dan kaum keluarga semuanya, betapa beratnya pekerjaan yang dipikul dan diusahakan setiap hari terhadap murid yang beratus banyaknya. Sebab itu diminta kepada tuan-tuan sekaliannya, supaya membiasakan anak-anak tuan berkata lurus dan bekerja keras dengan jalan memberi contoh sifat-sifat itu dalam diri tuan sendiri, supaya kehidupan kita ada berarti sedikit. Jangan makan-tidur, makan-tidur, kemudian mati.
Bekerjalah sedikit, supaya dalam perjalanan kita dari waktu lahir sampai ke pintu kubur ada meninggalkan bekas yang berguna terus-menerus, meskipun kita sendiri entah di mana ketika itu. Boleh jadi ada di antara tuan-tuan yang bakal mencemookan tulisan ini, tetapi itu tidak mengapa. Satu-satu 175 kali bangsa sendiri mesti dengar kata yang benar, meskipun kerap kali kata kebenaran itu memedihkan kedengarannya.
INS bukannya satu sekolah yang sombong dengan menghinakan yang lain, sama sekali tidak. la hanya perkakas pembuka jalan saja, lain dari itu tidak.
Anak jangan dipermanjakan. Karena dengan jalan begitu Angku-angku berkhianat kepada tanah air. Yang berguna ialah orang yang tahu dan mau menyingsingkan lengan bajunya buat bekerja. Angku-angku dan ibu-ibu akan berkhianat kepada anak, sebab mendidik dia menjadi orang yang lemah, tidak mempunyai tenaga cukup untuk bertanding kemudian di medan penghidupan apabila ia sudah mempunyai tanggungan pula. Berilah kepada anak apa yang patut dengan secukupnya. Jangan diberi apa-apa yang menurut maunya. Sekiranya biasa waktu makan pukul dua, hendaklah tetap begitu. Jangan bila menurut sukanya saja makan diberi. Ini gunanya agar anak itu pandai menjaga waktunya.
Di medan penghidupan masa nanti, keadaan jauh lebih susah daripada sekarang. Siapa-siapa yang kurang waspada tak dapat tidak akan mati digiling roda persaingan. Demikian juga dengan lain-lain hal. Maka anak-anak harus dibiasakan sigap. Ini semua dapat dilakukan oleh tiap-tiap rumah tangga. Akan ada harganya bagi anak di kemudian hari. Sebab itulah janganlah berkhianat kepada anak-anak tuan dan tanah air tuan.
Lakukanlah kewajiban tuan yang dipikulkan oleh tanah air tuan ke bahu masing-masing bumiputra.
- Tulisan M. Sjafe’i yang dimuat dalam tabloid dua-bulanan SBPSS, Tahun IV, 21 Maret 1928
- Ditulis ulang dari buku AA Navis Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Sjafei. 1996